Nyiur Melambai

CoverMongondow – Minggu (21/). Sang surya baru saja terbit. Sinar mentari masih terhalau kemegahan Gunung Klabat kala dipandang dari Desa Kolongan, Kalawat. Termasuk di kediaman Gubernur Sulut Olly Dondokambey, SE yang berada di bilangan jalan Soekarno nomor 1. Kendati masih pagi-pagi benar, OD-sapaan akrab- suami tercinta Ir. Rita Maya Tamuntuan ini sudah beranjak dari peraduan. Mengenakan celena pendek hitam dipadu kaos putih oblong, gubernur pilihan rakyat ini, seperti biasa menjalankan aktifitas rutinnya. Berjalan-jalan di pekarangan rumah dan ladang perkebunan yang kebetulan berada di areal yang sama. Selain menikmati udara pagi yang segar, OD juga sering memberi makan ikan hias maupun ikan mujair dan ikan mas di beberapa kolam yang tertata rapih.

Areal perkebunan milik OD ini, terbilang lumayan besar. Selain hamparan sawah dan deretan kolam ikan, terdapat juga ladang kering. Rupa-rupa tanaman tahunan tumbuh di tanah luas itu. Salah satunya tanaman kelapa. Ratusan pohon kelapa berjejer, menjulang tinggi. Tanda bahwa pohon yang masuk kategori palawija ini, sudah berkali-kali berbuah.

Sekira pukul 07.00 Wita, kediaman OD mulai terlihat ramai. Tamu-tamu mulai berdatangan. Mulai dari warga biasa hingga pejabat-pejabat di Lingkungan Pemprov Sulut. Sebelum ke gereja, biasanya OD menyempatkan diri untuk menerima tamu. Hari itu ternyata tak hanya menerima tamu, tapi juga ada gelaran syukuran kecil-kecilan di salah satu pojok kebun. Peresmian tempat pengolahan kopra yang telah selesai dibangun, sebagaimana amanat tradisi. Disaksikan oleh tetamu yang tak menyangka sama sekali agenda itu, syukuran dipimpin oleh Pendeta.

Setelah ibadah, tanpa dikomando OD melakukan ritual kupas buah kelapa. Tak dinyana, ia termasuk cekatan dan gesit beraksi di samping alat tradisional. Sambil membersihkan sabut dari batok kelapa, ia mengangkatnya dan diperlihatkan ke para tamu, sambil tersenyum gembira. Kepiawaiannya mengupas buah kelapa dapat dipahami. Pasalnya, sejak muda hingga saat ini, ayah dari Rio dan Samuel ini memiliki hobi bercocok tanam. Bahkan sejak menjadi orang nomor 1 di Sulut ini, sudah berkali-berkunjung ke tempat “fufu” buah kelapa.

Dari sudut pandang yang berbeda-beda, tindakan OD ini bisa memunculkan juga kesan beragam. Di satu satu sisi, bisa berupa ironi lantaran akhir-akhir ini petani mengeluhkan harga kopra yang turun drastis. Di sisi lain, tindakan OD bisa memberi teladan bagi petani bahwa pohon kelapa, yang dikenal banyak produk turunannya ini, agar tetap optimis dengan masa depan komoditi unggulan tersebut. Artinya sebagai top eksekutif yang juga “petani” kelapa, OD ikut merasakan apa yang dialami oleh petani akibat anjloknya harga kopra di pasaran. Sekaligus ikut senang apabila harga bisa memuaskan. Sebagai Gubernur Sulut, tentu ia tak mau dan tak ingin berpangku tangan melihat kondisi aktual ini.

Di tingkat petani, kopra dihargai Rp 6.000 – Rp 7.000 per kilogram. Sedangkan di tingkat pabrik sebesar Rp 8.000 per kilogram per Juli. Penurunan ini melanjutkan koreksi sejak akhir April lalu. Kopra kiloan di petani dihargai di Rp 7.000 – Rp 7.500 per kilogram, sedangkan pada tingkat pabrik dilepas di harga Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg. Adapun di akhir tahun 2017, kopra masih dibeli di Rp 11.000 per kilogram. Penurunan tersebut disebabkan merosotnya permintaan global pada minyak kelapa (NCO). Sementara produksi dalam negeri sedang meningkat hingga menekan harga jual. Produsen di negara lain juga mengalami hal yang sama. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Soalnya, tak hanya itu musabab jatuhnya harga kopra. Masih ada faktor produk subtitusi seperti jagung, kedelai dan sawit yang juga bisa menghasilkan minyak.

Anjloknya harga Kopra, tentu menjadi keprihatinan petani termasuk pemerintah. Apalagi Sulut dikenal sebagai bumi Nyiur Melambai. Pemerintah dan masyarakat juga berkeinginan agar harga Kopra, naik. Tapi apakah adil dan fair, jika anjloknya harga Kopra kemudian disalahkan kepada Pemprov Sulut khususnya kepada Gubernur Olly Dondokambey? Warga khususnya petani memang berhak dan wajar untuk mengeluhkan kondisi itu ke Pemprov Sulut. Tapi jika kemudian, belum naiknya harga Kopra dinilai disebabkan oleh gubernur, rasanya tidak berimbang.

Bukankah naik turunnya harga Kopra disebabkan karena mekanisme pasar dunia? Bukankah Kopra tergolong komoditi ekspor yang membawa konsekuensi harganya ditentukan oleh mekanisme pasar? Mekanisme pasar ini sangat tergantung pada supply and demand. Apalagi anjloknya harga Kopra tidak saja dialami oleh petani di Sulut, tapi seluruh petani di Indonesia. Dengan kata lain, Pemprov Sulut tidak memiliki kewenangan untuk menentukan harga. Termasuk pemerintah-pemerintah di provinsi lainnya, begitu juga di kabupaten dan kota.

Sulut telah lama dikenal sebagai salah satu daerah sentra penghasil produk olahan dari tanaman kelapa (Cocos Nucifera) di Indonesia. Bahkan daerah ini dijadikan cluster tanaman kelapa. Pada tahun 2017, produksi kelapa dari perkebunan rakyat di Sulut mencapai 255 ribu ton dengan luas areal 271 ribu hektar. Ada sekitar 130 ribu warga di Sulut yang bergantung dari kopra. Total ada 280 ribu hektare tanaman kelapa. Luas garapan tiap petani bervariatif mulai dari 0,5 hingga 3 hektare yang tersebar di 15 kota/kabupaten se-Sulut.

Menyikapi permasalahan tersebut, sejak tahun 2018, pemerintah provinsi telah berupaya mencari solusi untuk mendongkrak kembali harga kopra. Mulai dari pertemuan dengan pemerintah provinsi-provinsi serta kabupaten penghasil kelapa, hingga industri-industri pengolah kopra. Termasuk menyampaikan langsung ke Presiden Jokowi. Terbitnya kebijakan Minyak Nabati dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang mandatori biodiesel untuk sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO, salah satu respon pemerintah pusat. Kebijakan itu mendasari pembuatan Solar B20 untuk tahun anggaran 2019. Selain itu perluasan mandatori biodiesel 20% (B20) bertujuan untuk mengendalikan permintaan minyak kelapa sawit (CPO) secara global, sehingga pemanfaatan minyak kelapa makin besar.

Di tahun ini, petani makin gencar meminta pemerintah melakukan intervensi pasar komoditas andalan ekspor Sulut. Langkah proteksi dianggap sebagai salah satu alternatif, lantaran perusahan bisa saja ikut memainkan harga. Atas petunjuk gubernur, Wagub Sulut Drs. Steven Kandou sejak tahun lalu sampai tahun ini telah mengadakan safari ke industri-industri kopra. Tidak hanya di Sulut tapi juga sampai ke tingkat pusat, seperti PT d Cargill Indonesia, PT Multi Nabati Bitung dan PT Agro Makmur. Steven-sapaan akrabnya-sampai-sampai meminta kepada perusahan-perusahan tersebut agar tergerak hati melihat nestapa petani. “Kita minta mereka untuk tergerak hatinya, menurunkan sedikit keuntungannya dengan menaikkan harga beli kopra dari petani,” ujar suami tercinta dr. Kartika Devi Tanos ini. Permintaan itu direpon positif oleh perusahan, sembari mengharapkan juga agar petani bisa meningkatkan standarisasi produk kopra lewat kepemilikan sertifikat yang dapat difasilitasi oleh pemerintah. Saat ini, PT Cargill menyatakan baru bermitra dengan 88 orang petani kopra. Steven bersama tim sampai terbang ke Rotterdam, Belanda untuk menemui dan membujuk puluhan investor akan dapat menanamkan modalnya di industri pengolahan kopra. Selain itu, kementerian perdagangan juga sudah dilobi agar dapat mencari solusi terbaik.

Kendati pemerintah sudah berupaya maksimal dan sudah menampakan titik terang, tapi belum mampu membendung jeritan para petani. Pasalnya, hingga pertengahan 2019, harga kopra di pasaran masih jauh dari tuntutan petani.

Perlu solusi mutakhir untuk mengatasi kondisi pelik ini. Tidak gampang memang untuk bisa sekaligus memuaskan petani dan perusahan di lain pihak. Ada sistem yang sering diusulkan kepada pemerintah yakni resi gudang. Sistem yang dianggap salah satu bentuk intervensi pemerintah ini, memang harus melalui tahapan panjang sekaligus butuh kerjasama stakeholder. Tapi layak dicoba. Lewat sistem ini, petani memiliki peluang untuk menyimpan hasil panen saat harga turun dan menjual saat harga naik. Fluktuasi harga bisa diantisipasi. Kemudian resi itu diuangkan ke bank untuk modal kerja atau produksi lain. Untuk membayar pembiayaan di bank ini, akan dilakukan petani saat produk yang disimpan gudang terjual. Dalam sistem resi gudang ini, pemerintah bisa melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Crash program ini dianggap bisa meminimalisir kerugian petani secara umum. Bisa memutus rantai para pengepul nakal.

Sepertinya tidak mudah untuk mencari jalan keluar atas masalah klasik ini. Tapi bukan berarti membuat pemerintah dan warga pasrah. Pemerintah bisa mendorong agar petani kopra melakukan
pengolahan kopra turunan seperti minyak goreng, kopra putih dan pemanfaatan sabut kelapa. Untuk modal, bisa menggunakan pinjaman dari BUMDes yang mengelola dana Desa.

Selain itu, sebagai warga Nyiur Melambai, tidak ada salah juga apabila ikut mendukung petani kelapa. Caranya? Mari kita kembali mengkonsumsi minyak kelapa sehari-hari. Mungkin terlihat sepele, tapi langkah itu bisa membawa perubahan nasib petani kelapa ke arah yang lebih baik.

Di sisi lain, pemerintah harus juga memberikan perhatian bagi petani kelapa. Lewat pemberian bantuan alat pengolahan minyak kelapa. “Tahun 2018 lalu, sudah disalurkan 12 unit alat pengolah minyak kelapa”, ungkap OD. Tahun 2019 dialokasikan anggaran Rp 6 miliar untuk pengadaan mesin pengolahan minyak kelapa. Di samping itu, terobosan perlu tetap dilakukan. “Kami terus mencari pasar baru untuk produk kelapa. Misalnya penjualan kelapa biji di luar negeri”, jelas SK.

Di tengah kondisi ini, Pemprov Sulut memang dituntut untuk membuat teroboson. Tapi bukan untuk menentukan harga Kopra. Tapi lebih pada kebijakan dan program pendampingan kepada petani Kopra. Misalnya perlu adanya peralihan produk dan peningkatan kualitas Kopra sehingga kompetitif.

Menurut Kadis Perkebunan Sulut Refly Ngantung, pemerintah sudah berupaya mendorong untuk produksi kopra putih. Selain itu berbagai langkah diupayakan Pemprov Sulut seperti melatih petani kelapa sehingga kreatif menghasilkan produk turunan kelapa, yakni minyak goreng, VCO, arang aktif, kokopit dan produk lainnya.

“Kami juga memberikan bantuan alat pengasapan bagi petani kelapa melalui Kelompok Tani (Poktan) 10 unit setiap tahun di daerah sentra kelapa seperti di Minahasa, Minahasa Tenggara (Mitra), Minahasa Utara (Minut) dan Minahasa Selatan (Minsel),” ungkapnya.

Selain itu, membentuk korporasi di tingkat desa melalui LEM ( lembaga ekonomi masyarakat sejahtera) yang akan mempermudah akses pasar, modal, sarana produksi dan tekonologi. “Ada juga bantuan alat pengolah hasil kelapa, seperti mesin pengolah minyak goreng dan mesin pengolah VCO,” pungkasnya. Kedepan bisa juga diupayakan berdirinya perusahan atau industri emas putih di Sulut yang mengelola mulai dari hulu sampai hilir. Semoga Nyiur di Sulut terus Melambai. (Lexi Mantiri-25/7/2019)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *